Sabtu, 31 Mei 2008

Kemenakanku (Bagian Pertama)

My Beloved Nephew

Kuingat sore itu
sepeda motor berhenti di depan rumahku
segera kusambut yang bertamu
kulihat engkau menangis tersedu

Hatiku pun seakan terluka
kulihat engkau sangat berduka
ibumu pun bercerita
saat makan siang kau gelengkan kepala

Ayahmu berkata
Mungkin kau lebih suka
cari suasana berbeda
hingga kami antar ke rumah Neneknda

Bergegas aku tersenyum ceria
kutatap wajahmu penuh cinta
sebentar saja kudekap engkau sukacita
kubisikkan beberapa patah kata

Makan rawon sama Tante, ya?
Si Kecil anggukkan kepala
Aku makan rawon sama Tante saja
Rawon memang makanan kesukaannya


Puisi di atas kutulis saat aku teringat masa kecil kemenakanku yang sekarang duduk di kelas VIII (dan memiliki seorang adik laki-laki dan dua adik perempuan).
Kenaikan kelas yang akan datang, InsyaAllah, dia akan duduk di kelas IX. Aku sudah berjanji pada dia dan ayahnya (kakakku) untuk memberinya soal-soal latihan UNAS karena aku juga mengajar di kelas IX.
Kemenakanku yang dulu kecil mungil kini telah beranjak remaja. Kegemarannya membaca dan membuat komik. Sayangnya dia masih malu kalau aku ingin melihat hasil karyanya. Meskipun demikian, aku berharap dia akan dapat menyalurkan bakatnya dengan tepat.

Senin, 12 Mei 2008

Sekelumit Pengalaman Jadi Baby Sitter

Saat aku lulus SMP, pekerjaan baru telah menungguku, yaitu menjadi baby sitter putra pamanku alias adik sepupuku. Maklumlah pamanku dan istrinya sama-sama bekerja. Apalagi Paman, beliau dapat disebut pribadi yang workholic. Belum terpikir untuk mencari pramuwisma, lagipula saudara dekat mau menolong.
Ibuku menyambut permintaan tolong adiknya dengan sukacita. Beliau memang menyukai anak- anak sesuai dengan profesinya sebagai guru TK. Begitu pula dengan diriku yang sudah lama ingin
segera menggendong bayi mungil itu.
Jadilah aku menjadi baby sitter selama liburan. Pagi sekitar 07.30, paman dan bibi menitipkan si Kecil di rumah kami dan bibi menggendong bayinya pulang sekitar pukul 16.00.
Menurutku mengasuh bayi tidaklah terlalu sulit bila dibandingkan ketika bayi itu sudah mulai harus dititah, sungguh melelahkan. Belum lagi kalau sudah pandai bicara, biasanya suka protes.
Tahun demi tahun terus berlalu. Tidak terasa ia genap tiga tahun. Aku mulai merasa kewalahan. Adik sepupuku ini hanya menyukai lauk pindang dan kecap, lain tidak. Ia selalu menolak apabila mengetahui tak ada pindang dan kecap dalam sepiring nasinya.
Mula-mula aku menuruti saja maunya, yang penting dia mau makan. Tetapi timbul pikiran lain dalam benakku, kalau begini caranya bagaimana dengan pemenuhan gizi lainnya. Setiap hari hanya pindang dan kecap. Aku bertekad harus memenuhi standar gizi yang diperlukan balita seusianya. Bagiku, pamanku telah mempercayakan putranya kepadaku, berarti tugasku tidak sekadar mengenyangkannya, menemaninya bermain, atau menidurkannya. Lebih dari itu, setiap gerak lakunya adalah tanggung jawabku selama orang tuanya belum datang.
Aku berpikir supaya dia mau menikmati telur matasapi yang kubuat. Kali pertama ia menolak, aku mengalah karena belum menemukan cara yang jitu untuk menaklukkan kekerasan hatinya.
Tetapi siang ini aku tidak boleh kalah karena telah menyiapkan segalanya. Sepulang kuliah, aku menggoreng telur matasapi dan memotong-motongnya sampai menjadi serpihan. Sepiring nasi kecap dan pindang telah kusiapkan. Kuaduk serpihan telur mata sapi itu sehingga tercampur. Aku katakan terus terang bahwa lauk makan siang itu bukan hanya pindang dan kecap tetapi ditambah telur. Semula ia menolak. Aku menyuruh untuk mencicipinya sesuap dulu jika terasa telur ia boleh minta ganti. Alhamdulillah tampaknya ia menyukai lauk hari itu.
Syukurlah untuk selanjutnya adik sepupuku itu tidak menjadi pindang mania. Beberapa tahun kemudian kesukaannya beralih pada tahu bakso dan saus. Saat ia duduk di bangku SMP, ayam goreng dan saus sambal menjadi kegemarannnya. Yang terakhir ini mungkin pengaruh dari ayah ibunya, keduanya sama-sama dokter hewan.
Oh ya, semula saya sempat mengira kalau paman memelihara ayam untuk memenuhi selera kedua putranya. Ternyata saya salah, karena beliau memelihara ayam jago, kate, dan beberapa ekor bebek. "Biar ramai, "begitu komentar beliau.

Kamis, 08 Mei 2008

Kisah Kerajaan Pantang Mundur

Akhir-akhir ini banyak blog bermunculan bagaikan jamur di musim hujan. Orang-orang dari berbagai usia dan profesi pun tidak mau ketinggalan, berlomba-lomba membuat blog. Walaupun ada juga yang hanya pasang judul, sedangkan blognya tidak pernah diisi (yang merasa tersindir jangan marah, ya. Saya juga punya blog spesalis judul, kok).
Al kisah tersebutlah sebuah kerajaan bernama Pantang Mundur yang berdiri megah di wilayah mungil dengan penduduknya yang ramah tamah. Kerajaan ini sangat terkenal sampai ke pelosok dan sangat disegani oleh kerajaan-kerajaan lain.
Raja Kerajaan Pantang Mundur adalah seorang yang arif bijaksana. Kadang-kadang arif, lain waktu ia bijaksana (apa ya bedanya?) Yang jelas Yang Mulia Baginda tidak bernama Arif Bijaksana.
Baginda selalu menginginkan kemajuan bagi kerajaan dan rakyatnya, terutama dalam bidang teknologi spesialis internet. Maka ia menyediakan fasilitas internet gratis online 24 jam (kecuali kalau listrik padam, komputer ngadat, atau sebab-sebab yang lain). Ia sangat mengharap seluruh rakyatnya tidak lagi gaptek (gagap teknologi) . Malu kan, masa kerajaan terkenal, penduduknya buta teknologi? Tetapi sebelum memerintahkan rakyat mengakses internet, sang Raja pun belajar lebih dulu karena ingin memberi telatan eh salah, teladan.
Sang Raja yang terkenal dengan kegigihannya itu pun kini telah berhasil membuat nyaris 100 persen dari total jumlah rakyatnya terbebas dari buta internet. Suatu hasil yang fantastis karena dalam waktu relatif singkat, raja mampu mengentaskan 99,9 persen rakyatnya dari gaptek.
Keputusan raja yang membebaskan rakyat menggunakan fasilitas internet kerajaan 24 jam itu tentu saja disambut gegap gempita oleh rakyat. Mereka bersyukur memiliki pemimpin yang arif dan bijaksana. Mereka pun berlomba-lomba mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan teknologi khususnya internet.
Seiring dengan berjalannya waktu, Tuanku Yang Mulia Baginda tidak ingin rakyatnya sekadar mengetahui dunia maya tetapi lebih dari itu. Ya, beliau juga mengharapkan rakyatnya untuk berkarya. Pengumuman melalui dunia maya pun berkumandang.
Wahai rakyat Kerajaan Pantang Mundur yang tercinta, bacalah pengumuman ini!
Pengumuman!
Mulai saat ini kalian wajib membuat blog ! Perintah Baginda Raja tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat-menyurat!
Tentu saja sang Baginda tidak asal memerintah, beliau juga mengadakan beberapa kali pembinaan dan pelatihan sampai rakyatnya menguasai ilmu blog-blogan.
Seperti biasa raja tersebut telah membuat blog lebih dulu sebelum membuat pengumuman itu. Satu hari sang Baginda mampu melakukan posting sampai 100 kali (kebanyakan nih, kurangi 0-nya satu boleh kan, daripada 1-nya yang dikurangi). Satu hari beliau menghasilkan 10 artikel maupun opini.
Tetapi sayang seribu sayang, belum 100 persen rakyatnya yang melaksanakan perintah rajanya. Alasan mereka beragam, ada yang mengatakan tidak punya waktu, fasilitas internet masih kurang sehingga harus bergiliran, dan beberapa alasan lainnya. Setelah menunggu dan berusaha bersabar beberapa waktu, Baginda pun memutuskan untuk memberikan ultimatum kepada rakyatnya yang belum juga membuat blog. Ia menentukan akan memberlakukan deportasi atau menghapus kewargakerajaan kepada rakyat yang membangkang itu. Deportasi diberlakukan bagi rakyat imigran, sedangkan menghapus kewargakerajaan diberlakukan bagi rakyat penduduk di sekitar kerajaan.
Baginda Kerajaan Pantang Mundur tampaknya terlupa satu hal. Rakyatnya memiliki kewajiban yang lebih utama dibanding membuat blog. Membuat blog hanya dapat dilakukan pada saat longgar dan harus diselesaikan dalam waktu berjam-jam. Padahal ada tanggung jawab lain yang tidak dapat ditunda atau ditinggalkan begitu saja.
Seandainya tidak satu pun rakyat yang dapat atau sempat membuat blog, maka pasti terjadilah korban-korban deportasi dan warga yang tidak punya status kewargakerajaan. Lha, kerajaannya bisa bubar. Padahal syarat-syarat berdirinya kerajaan kalau tidak salah : 1. memiliki wilayah, artinya ada kerajaan yang nyata, 2. sudah ada rajanya, dan 3. rakyat yang tinggal di wilayah itu. Kalau kerajaan bubar, berarti dinasti Pantang Mundur bisa-bisa hanya tinggal nama.
Sampai detik ini kerajaan tersebut masih berdiri dengan megahnya tetap dengan Sri Baginda yang arif bijaksana itu, walaupun kadang-kadang suka lupa dengan predikat tersebut (wajar kan, 'Raja juga manusiaaa'!).


Catatan : Cerita ini khayalan belaka. Jika ada beberapa bagian yang sama, hal itu bukan merupakan kebetulan.



Selasa, 06 Mei 2008

Antara Kritikan dan Celaan

Beberapa bulan yang lalu saya menulis kritik kepada seorang penyair yang telah melakukan kritik terhadap karya-karya para penyair pemula di sebuah situs. Saya mengatakan bahwa kritikan harus dilakukan dengan cara seimbang dan saya tegaskan kritikan bukanlah celaan. 'Yang Anda tulis adalah celaan bukan kritikan' begitulah komentar saya.
Penyair tersebut berdalih bahwa ia ingin membangkitkan semangat para penyair remaja agar tidak terlena oleh pujian dan cepat puas. Menurutnya kritikannya dapat menjadikan orang lebih bersemangat menghasilkan karya.
Penyair itu pun menyebut celaannya sebagai kritikan. Ini sangat mengherankan, padahal jelas keduanya berbeda. Kritikan (apalagi kritik sastra) haruslah menyebutkan kelebihan dan kekurangan suatu karya, sekaligus memberikan saran bagi perbaikan. Sebaliknya celaan bernada mengejek dan cenderung menjatuhkan mental serta mematahkan semangat (kenyataannya komentar penyair tersebut lebih bernada celaan dibanding kritikan).
Kita memerlukan dua hal yang berbeda asalkan tidak berlebihan. Perilaku rendah diri sangat dilarang karena orang yakin bahwa dirinya tidak memiliki kelebihan yang pantas ditampilkan. Terlalu percaya diri pun tidak boleh dilakukan karena akan menyebabkan seseorang merasa lebih unggul dibanding yang lain. Demikian pula kita memerlukan pujian untuk membangkitkan semangat dan kritikan untuk supaya tidak mudah terlena dan cepat puas.
Sayangnya dalam kehidupan sehari-hari, sebagian orang beranggapan bahwa dengan mencela berarti ia sudah berkritik ria. Kritikan dapat membuat orang berlapang dada meskipun pedas. Kritikan dapat membuat orang merenung, menyadari kesalahan, dan berusaha memperbaiki diri. Sedangkan apabila kita mendengar celaan, terasa panas telinga, terbakar amarah, dan cenderung melampiaskannya yang mengakibatkan hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Maka berhati-hatilah dalam bersikap.

Catatan : InsyaAllah, saya akan menulis tentang kritik ini lebih banyak sesuai dengan pengetahuan saya.

Menggali Potensi Menulis bagi Remaja

Sebagai guru spesialis bahasa Indonesia saya berkewajiban melatih anak didikku agar mampu menulis. Akibat yang terjadi adalah saya menjadi tergerak untuk terus menulis. Bukankah mengherankan jika seorang guru menugaskan muridnya untuk mengarang, tetapi dia belum menemukan kesempatan guna menuangkan idenya?
Saya menyadari tidak semua anak memiliki bakat menulis. Meskipun demikian, latihan demi latihan dapat menjadikan ide dan imajinasi bermunculan dengan mudah. Tinggal masalah mengubahnya menjadi sebuah karya.
Sebagian anak mendapat kesulitan menyulap bahasa lisan menjadi bahasa tulisan. Jika kita membaca karya mereka, tidak ada bedanya dengan mendengar mereka ketika berbicara. Belum lagi kalau anak tersebut tidak mencantumkan satu tanda baca pun pada karyanya (mirip telegram yang tidak mengenal tanda baca secara transparan). Karya semacam ini sangat sulit dipahami. Orang yang membaca pasti akan mengerutkan kening.
Tidak jarang saya pun menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi saya segera teringat bahwa mereka telah berusaha sebaik-baiknya. Bukan hal yang mudah membuat tulisan apalagi bagi mereka yang tidak berbakat dalam bidang ini.
Saya selalu berusaha memberikan dorongan kepada para siswa agar mereka dapat menghasilkan suatu karya. Percaya diri adalah hal pertama yang saya tanamkan. Pantang bagi saya mencela sebuah karya, walaupun hanya karena iseng. Saya selalu berusaha menahan diri untuk berkomentar misalnya, 'Apa yang kamu tulis? Menulislah yang bermanfaat!' apalagi jika saya belum membaca apa-apa. Hal semacam itu saya hindari (meskipun bertujuan iseng atau hanya ingin melakukan uji coba) karena ada anak yang justru lenyap idenya setelah mendengar kata-kata tersebut. Bahkan orang dewasa pun dapat termangu-mangu, heran, dan dongkol mendengar komentar itu. Hanya saja bedanya orang dewasa lebih memiliki pandangan yang luas untuk menelaah ucapan tersebut dengan pikiran positif.
Tetapi ada pula murid-murid saya yang telah menampakkan bakatnya. Ada yang berbakat menulis puisi, cerpen, dan ada juga yang jago menulis artikel (walaupun sederhana). Apabila membaca karya-karya mereka, insyaAllah, kita tersenyum bangga dan mengucap alhamdulillah karena telah menemukan generasi muda yang penuh potensi.
Generasi muda adalah tambang emas bagi dunia menulis dan sastra. Tugas kita adalah menggali dan menggali bakat mereka, membimbing, dan memberikan semangat dengan cara yang sesuai.

Menentukan Pilihan dalam Hidup

Allah Swt. memberi kesempatan kepada manusia untuk menentukan jalan hidup. Dia menyediakan banyak pilihan yang dapat diambil umat-Nya. Bahkan, manusia memperoleh kesempatan itu berkali-kali, berkali-kali, dan berkali-kali, sehingga manusia sendiri yang merasa bosan.
Takdir kita memang telah digariskan oleh-Nya. Walaupun demikian, takdir dapat saja berubah sesuai dengan usaha yang kita lakukan.
Sayangnya kita sering melupakan bahwa Allah telah menganugerahkan keistimewaan dan banyak kesempatan agar kita giat berusaha. Tidak jarang kita jalan di tempat menikmati semua yang telah kita rasakan dan enggan untuk meraih sesuatu yang lebih baik. Kadang-kadang pula kita bimbang untuk mencari yang lebih baik itu hanya karena khawatir akan menimbulkan pertanyaan dan kekecewaan dari berbagai pihak. Kita memutuskan untuk tidak lagi meributkan masalah itu.
Seharusnya kita tidak perlu khawatir. Kita berhak menentukan pilihan, berhak memilih yang terbaik untuk masa depan akhirat dan dunia. Mungkin beberapa pihak menyayangkan keputusan yang kita ambil, tetapi sekali lagi mereka tidak berhak untuk menghalangi langkah kita.
Kekecewaan yang telah dirasakan dapat dijadikan cambuk meraih kesuksesan. Kekecewaan yang bertumpuk-tumpuk memang dapat melecut keinginan kita untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekarang, yang telah kita dapatkan.
Sekali lagi, itu hanyalah salah satu pilihan dalam hidup.

Arti Guru yang Sebenarnya

Sedih rasanya setiap kali saya membaca komentar tentang beberapa orang berprofesi sebagai pendidik. Ternyata mereka menjadi guru bukan karena tertarik pada dunia pendidikan atau ingin membimbing tunas harapan bangsa, melainkan karena tidak ada pekerjaan lain yang lebih mudah daripada menjadi guru. Alangkah sempit pikiran mereka sehingga menganggap profesi yang satu ini mudah dijalani.
Mungkin pendapat mereka tidak sepenuhnya salah. Semua orang bisa menjadi guru. Apa susahnya mengajar? Seorang kakak yang mengajari adiknya sesuatu juga bisa disebut guru, guru bagi adiknya. Seorang anak yang memberitahu temannya tentang cara mengerjakan sesuatu pun sudah menjadi guru. Kalau begitu anak TK pun bisa menjadi guru?
Padahal menjadi guru tidak sekadar berdiri di depan kelas dan bercuap-cuap menerangkan pelajaran. Guru bukanlah seorang hanya memberikan tugas dan menjatuhkan hukuman ketika murid-muridnya tidak mengerjakan tugas, lebih dari itu, ia mempunyai tanggung jawab moral yang tinggi. Selain mengajarkan ilmu pengetahuan, ia juga wajib mendidik akhlak para generasi bangsa agar kelak berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Sebuah tugas yang tidak mudah, memerlukan kesabaran yang tinggi, dan membutuhkan kelapangan dada yang luas.
Tidak ada yang lebih membahagiakan seorang guru jika melihat anak didiknya berhasil mencapai cita-cita, sebaliknya tidak ada yang lebih menyedihkan seorang guru saat mengetahui bahwa muridnya gagal meraih masa depan.