Senin, 12 Mei 2008

Sekelumit Pengalaman Jadi Baby Sitter

Saat aku lulus SMP, pekerjaan baru telah menungguku, yaitu menjadi baby sitter putra pamanku alias adik sepupuku. Maklumlah pamanku dan istrinya sama-sama bekerja. Apalagi Paman, beliau dapat disebut pribadi yang workholic. Belum terpikir untuk mencari pramuwisma, lagipula saudara dekat mau menolong.
Ibuku menyambut permintaan tolong adiknya dengan sukacita. Beliau memang menyukai anak- anak sesuai dengan profesinya sebagai guru TK. Begitu pula dengan diriku yang sudah lama ingin
segera menggendong bayi mungil itu.
Jadilah aku menjadi baby sitter selama liburan. Pagi sekitar 07.30, paman dan bibi menitipkan si Kecil di rumah kami dan bibi menggendong bayinya pulang sekitar pukul 16.00.
Menurutku mengasuh bayi tidaklah terlalu sulit bila dibandingkan ketika bayi itu sudah mulai harus dititah, sungguh melelahkan. Belum lagi kalau sudah pandai bicara, biasanya suka protes.
Tahun demi tahun terus berlalu. Tidak terasa ia genap tiga tahun. Aku mulai merasa kewalahan. Adik sepupuku ini hanya menyukai lauk pindang dan kecap, lain tidak. Ia selalu menolak apabila mengetahui tak ada pindang dan kecap dalam sepiring nasinya.
Mula-mula aku menuruti saja maunya, yang penting dia mau makan. Tetapi timbul pikiran lain dalam benakku, kalau begini caranya bagaimana dengan pemenuhan gizi lainnya. Setiap hari hanya pindang dan kecap. Aku bertekad harus memenuhi standar gizi yang diperlukan balita seusianya. Bagiku, pamanku telah mempercayakan putranya kepadaku, berarti tugasku tidak sekadar mengenyangkannya, menemaninya bermain, atau menidurkannya. Lebih dari itu, setiap gerak lakunya adalah tanggung jawabku selama orang tuanya belum datang.
Aku berpikir supaya dia mau menikmati telur matasapi yang kubuat. Kali pertama ia menolak, aku mengalah karena belum menemukan cara yang jitu untuk menaklukkan kekerasan hatinya.
Tetapi siang ini aku tidak boleh kalah karena telah menyiapkan segalanya. Sepulang kuliah, aku menggoreng telur matasapi dan memotong-motongnya sampai menjadi serpihan. Sepiring nasi kecap dan pindang telah kusiapkan. Kuaduk serpihan telur mata sapi itu sehingga tercampur. Aku katakan terus terang bahwa lauk makan siang itu bukan hanya pindang dan kecap tetapi ditambah telur. Semula ia menolak. Aku menyuruh untuk mencicipinya sesuap dulu jika terasa telur ia boleh minta ganti. Alhamdulillah tampaknya ia menyukai lauk hari itu.
Syukurlah untuk selanjutnya adik sepupuku itu tidak menjadi pindang mania. Beberapa tahun kemudian kesukaannya beralih pada tahu bakso dan saus. Saat ia duduk di bangku SMP, ayam goreng dan saus sambal menjadi kegemarannnya. Yang terakhir ini mungkin pengaruh dari ayah ibunya, keduanya sama-sama dokter hewan.
Oh ya, semula saya sempat mengira kalau paman memelihara ayam untuk memenuhi selera kedua putranya. Ternyata saya salah, karena beliau memelihara ayam jago, kate, dan beberapa ekor bebek. "Biar ramai, "begitu komentar beliau.

Tidak ada komentar: